Aku merenung panjang, melalui pikiran. Aku tersentuh helu, melalui
hati. Inilah jalan yang ku tempuh. Inilah pilihan jejak hidup yang ku
pilih. Dan aku ingin kita semua merenungkan diri dengan muhasabah dalam
munajat yang dilakukan. Aku ingin kita berkaca pada sejarah dengan titah
emasnya untuk kita mengintrospeksi jiwa. Aku ingin kita untuk kembali
lebih mengenal sosok jiwa / diri kita dengan potensi yang besar serta
pemahaman yang melangit. Yaaa, aku inginkan ini, dengan kembali pada
diri jiwa kita.
Tenang dan hening. Sunyi dan senyap. Semua sudut
kota mekah yang berada di sekitar enam mil dari ketinggian gua itu
terlihat jelas. Sejelas purnama di malam hari. Atau matahari di siang
hari. Lelaki di usia 37 tahun menjalani hari-hari yang panjang selama 3
tahun dalam kesunyian di gua itu. Ketika usianya genap 40 tahun malaikat
Jibril datang padanya membawa wahyu dan seketika resmi menjadi nabi
terakhir yang menutup rangkaian panjang sekitar 350 ribu nabi dan rasul.
Ketika kembali ke rumah ia berkata kepada sang istri “sekarang tidak ada waktu tidur Khadijah “.
Para
pencinta sejati membutuhkan saat-saat hening dan sunyi seperti itu.
Karena cinta adalah tindakan member tanpa henti, maka para pencinta
sejati membutuhkan energy besar untuk menjaga kesinambungan
kontribusinya. Dalam keheningan dan kesunyian seperti itulah ia menyerap
energy kehidupan ke dalam dirinya.
Itu adalah jenak-jenak di mana
ia kembali ke dalam dirinya sendiri. Menemui ruhnya, menyapa jiwanya,
berdialog dengan akalnya. Di sana ia menyatukan kembali bagian-bagian
dirinya yang mungkin berserakan dalam lelah atau tercabik di jalan
kehidupan yang panjang. Di sana ia menyegarkan kembali pada cita-cita
luhur dari cinta yang agung. Di sana ia menguatkan kembali komitmennya
pada cita-cita luhur cintanya. Di sana ia menyerap semua energy
kehidupan yang ia perlukan untuk melanjutkan perjalanan cintanya. Di
sana ia meneguhkan kembali tekadnya untuk terus mencinta dan mencinta.
Itu
juga adalah jenak-jenak di mana ia kembali ke dalam dirinya lalu keluar
membawa ruh, akalnya dan jiwanya menemui langit. Di sana ia menemukan
kembali keyakinan pada kebenaran jalan cintanya. Di sana ia menyerap
bantuan langit yang tak terbatas. Di sana ia menemukan kembali
ketenangannya yang terganggu di sepanjang jalan cintanya.
Ketenangan
adalah syarat utama untuk menjadi manusia yang produktif. Cinta
mengharuskan kita memiliki orientasi pada performansi yang kuat. Dan itu
hanya mungkin dicapai ketika kita mengalami titik keseimbangan
tertinggi pada proses penerimaan dan pengeluaran energy. Ketenangan
adalah cara menghemat energy. Tapi perenungan adalah cara menyerap
energi. Dan memberi adalah cara menyalurkan energy. (Baca: Serial Cinta
“H. M Anis Matta” Bagian Jalan Sunyi Sang Pencinta).
Inilah
hal pertama yang harus kita lakukan dalam menyongsong jejak perjuangan
kita. Karena pada dasarnya, masalah-masalah pribadi masih tercampurkan
dalam kolektif jamaah di wajihah. Kedewasaan dalam bersikap belum begitu
kokoh. Keikhlasan masih sangat perlu belajar lebih lagi. Ini memang
seharusnya sudah dikholaskan, tapi labilnya jiwa masih mampu
menghipnotis jiwa untuk mewujudkan semuanya.
Ikhwah fillah, ke
mana jiwa/ruh perjuangan? Ke mana komitmen yang tertancap dalam ikrar?
Ke mana pemahaman yang terbangun selama ini? Ke mana hasil tarbiyah yang
selama ini kita geluti? Ke mana impian besar yang terlontarkan dalam
argumentasi kala syura’? Ke mana??? Sudah sejauh mana pengorbanan kita
untuk jalan ini? Sudah sebesar apa kontribusi kita untuk jalan ini?
Sudah sejauh mana keikhlasan perjuangan kita dijalan ini???
Memang
mungkin tidak pantas Ana mempertanyakan ini pada Antum/na semua, tapi
Ana ingin kita merenungi pertanyaan ini. Ana ingin jiwa/ruh kita
meresapi pertanyaan ini dalam tenang, hening, sunyi dan senyap munajat
kita. Karena ini menyangkut perihal dan pilihan pribadi.
Ikhwah fillah, ketahuilah “Se-rasional apapun rasionalisasi yang Antum/na utarakan dalam rasionalisasi Antum/na, tetap akan menjadi Ir-rasional bila terkait dengan jalan dakwah ini”. Tinggal bagaimana Antum/na memilih.
Rasanya
kecil sekali qadhaya-qadhaya ini, ukhuwah, komitmen, komunikasi, dll.
Bukankah kita telah sepakat ini remeh temeh! Bukankah kita punya tim!
Apa memang kurang tsiqah dengan tim! Bukankah kita punya obat ampuh
untuk itu dengan “syura”! Kembali kita pertanyakan jiwa kita. Karena
bisa jadi Kita telah terlampau jauh terhanyut dengan perahu nafsu dan
ego jiwa kita. Hingga menutup akses untuk sebuah mencari walau sebuah
solusi.
Kita telah menguasai, betapa mengharu biru dan
berdarah-darah perjuangan pembawa Risalah awalun kita. Padang pasir yang
tandus menjadi medan, terik matahari menyengat menjadi cahaya penerang
jejaknya, serta jahiliyah menjadi garapan objek dakwahnya. Siksaan dan
cacian menjadi makanan wajib dalam perjuangannya. Karena itulah tarbiyah
dalam dakwah yang mereka peroleh.
Kita tau “Memang seperti itu
dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari
dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan
tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu.
Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh
rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur
dipaksa berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga… Tapi
kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah.
Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya
sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang
miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit
membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar
itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian
meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang
tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar
bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar
yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik?
Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang
sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang shalih, yang sedang
bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat shalat.
Dakwah
bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya
tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari
godaan kefuturan.
Tidak, Justru kelelahan. Justru
rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari.
Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang
jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka
rasakan, selalu menemani. Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai
ke mana pun mereka pergi. Akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan
godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus
mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik
iman. Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa
sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk
mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitu
pun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia
tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking
seringnya “ditinggalkan”, hal itu sudah menjadi kewajaran… Dan menjadi
semacam tonik bagi iman…
Karena itu kamu tahu. Pejuang yang heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yang
takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka
jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka
memproduksi karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan,
sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan
mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya
Allah, berilah dia petunjuk. Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha
Penyayang”. Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak.
Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta.
Mengajak kita untuk terus berlari.
Lantas Kita??? Apa yang telah kita perbuat ? Sudah seberapakah pengorbanan kita? Kembali harus kita pertanyakan pada jiwa kita.
Namun dengan kondisi dakwah seperti ini, kita juga sama-sama tau, bahwasanya dakwah ini tidak sama sekali membutuhkan kita. Sangatlah
sering kita dengar, bahwa dakwah ini ada atau tidak adanya kita akan
terus ada berkobar menjulang angkasa. Seharusnya ini menjadikan kita
lebih mencintai dakwah ini. Seharusnya ini menjadikan kita lebih
membutuhkan dakwah ini. Seharusnya ini lebih mempertebal komitmen dan
semangat kita dalam berjuang. Karena benar, pada dasarnya dakwah ini
tidak membutuhkan kita. Dakwah ini ada karena ALLAH.SWT sendiri yang
melindunginya. Karena dakwah ini suci yang dijaga langsung oleh ROBB
yang maha suci. Jadi jangan pernah Antum/na mengira dan terbesit dalam
hati, kalau dakwah ini berutang ada Antum/na sehingga dengan adanya
Antum/na dakwah ini tetap ada.
Tugas kita pertama hanya
memilih. Yaa memilih mau kearah mana langkah Antum/na ulurkan dalam
rotasi jejak hidup. Apa menjadi jundi ALLAH atau jundinya duniawi, apa
menjadi pengikut jejak perjuangan Rasulullah.SAW atau menjadi pengikut
heroik dan gemerlapnya dunia. Apa menjadi pejuang sejati yang siap
tempur bagaimanapun kondisi medannya atau menjadi pembelot dengan
berbagai rasionalisasi yang Antum/na utarakan (???).
Kita semua
cerdas dan tentunya pasti tidak akan salah pilih. Tinggal bagaimana
dengan pilihan tersebut Antum/na bermanuver dengan dinamika perjuangan
di medan dan rumah kita.
Ikhwah fillah, namun apakah tidak
begitu menggiurkan untuk kita akan Jannah ILLAHI yang dijanjikan pada
pejuang RisalahNYA ini? Apakah tidak begitu ingin kita berlomba-lomba
menjembut amal-amal melalui garapan amanah kita? Apakah tidak ingin
untuk mengukir sejarah gemilang?
Ikhwah fillah, seharusnya juga
kita sadari, bahwa memang, pada dasarnya orang-orang yang bergelar
pahlawan itu sedikit. Karena memang membutuhkan jiwa dan mentalitas
kepahlawanan pula untuk menjemput gelar tersebut. kita yang masih
bertahan kokoh dengan terpaan ombak yang mampu mengikis asa, azzam dan
komitmen, yang masih bertahan dalam medan yang penuh dengan onak dan
duri yang menusuk jejak, yang terus berjuang menyebarkan rahmatan lil
alamin dengan medan yang gersang, panas dan berdebu ini, ADALAH PARA
PEJUANG SEJATI dengan gelar kepahlawanannya. Pejuang sejati yang ikhlas
dalam bergerak, kuat dalam melaju dan tegar dalam berjuang. Pejuang
sejati yang terus bertahan dalam kondisi apapun di medan perjuangannya.
Pejuang sejati yang tidak akan mau meninggalkan medan perjuangannya
tanpa ada peninggalan berharga sebagai wujud menggapai visi. Pejuang
sejati yang tidak akan mau pergi ketika medan perjuangannya masih
menjadi pikirannya. Pejuang sejati baru akan beralih ke medan juangnya
yang lain ketika medan perjuangannya itu telah sesuai dengan harapannya.
Jadilah pejuang sejati itu kawan bukan pecundang!! Allahu’allam.
Jazakalloh khoir tulisannya akh Nico Thomas atas tulisannya yang begitu berkesan bagi kami..
1 komentar
How to Play Pai Gow Poker | BetRivers Casino - Wolverione
Pai Gow Poker is an online version of a traditional table game kadangpintar in which players place bets in the https://febcasino.com/review/merit-casino/ background. Pai www.jtmhub.com Gow febcasino.com Poker uses only the worrione symbols from a
Posting Komentar