Featured 1

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Selasa, 19 Februari 2013

Dari Nabi Ibrahim as. Untuk Para Kader Dakwah



Nabi Ibrahim as. adalah salah seorang manusia terbaik yang pernah hidup di muka bumi ini.  Beliau sering disebut-sebut sebagai “bapak ajaran Tauhid”, meskipun sebenarnya sudah banyak Nabi dan Rasul sebelumnya yang sama-sama menyebarkan ajaran Tauhid.  Tentu ada alasannya mengapa beliau memiliki nama yang harum, sehingga beliau senantiasa dikenang, ribuan tahun setelah masa hidupnya.

Dalam Al-Qur’an terdapat sebuah surah khusus yang diberi judul “Ibrahim”.  Tentu Allah SWT memiliki alasan yang sangat bagus mengapa sosok agung ini dijadikan sebuah titik fokus dalam salah satu surat di dalam Kitab Suci-Nya.  Secara spesifik, Allah memerintahkan kita untuk memperhatikan salah satu episode dalam hidupnya, yaitu serangkaian doa yang pernah diucapkannya dahulu kala.  Setiap Muslim – khususnya aktifis dakwah – bisa mengambil banyak pelajaran dari episode ini.

Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa, “Ya Rabbi, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala,” 
(Q.S. Ibraahiim [14] : 35)

Prasyarat utama dari keberhasilan dakwah adalah keamanan.  Jika tempat kita berdakwah tidak aman, maka dakwah tentu tidak bisa dilaksanakan secara maksimal dan memerlukan strategi-strategi khusus, misalnya secara sembunyi-sembunyi.  Metode sembunyi-sembunyi ini pernah digunakan pula oleh Nabi Muhammad saw. pada awal dakwahnya, karena pada saat itu pengikut beliau masih sangat sedikit, dan ajaran Islam dianggap sebagai musuh oleh para penyembah berhala, khususnya di Mekkah. 

Prasyarat berikutnya adalah aqidah dari para aktifis dakwah itu sendiri.  Bagaimana mungkin ajaran Tauhid bisa disebarkan oleh seseorang yang menyembah berhala?  Nabi Ibrahim as. bahkan tidak malu-malu untuk memohon perlindungan Allah SWT agar ia dan anak-cucunya tidak sampai tergoda untuk menjadi penyembah berhala.  Dalam hal ini, beliau telah berpikir sangat jauh.  Nabi Ibrahim as. tahu bahwa berhala bukan hanya batu atau kayu yang dipahat menjadi suatu bentuk dan disembah-sembah.  Kekuasaan, kehormatan, ego pribadi dan uang pun bisa menjadi berhala.  Oleh karena itu, Nabi Ibrahim as. benar-benar berdoa agar Allah tidak memalingkannya dari Tauhidullah kepada berhala-berhala yang kadang sulit untuk diidentifikasi.

“Ya Rabbi, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia.  Barangsiapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang,
(Q.S. Ibraahiim [14] : 36)

Kita dapat melihat sikap yang menjadi ciri khas Nabi Ibrahim as. di sini, yaitu lembut dan penuh kasih sayang kepada siapa pun.  Mengomentari masalah penyelewengan aqidah, Nabi Ibrahim as. sama sekali tidak membenci para penyembah berhala.  Sebaliknya, beliau mengadukan keberadaan berhala-berhala tersebut yang dianggapnya sebagai oknum yang menyebabkan banyak orang tersesat.  Beginilah sikap seorang aktifis dakwah sejati.  Jika melihat ada orang yang berbuat menyimpang, ia tidak membenci orangnya, melainkan perbuatannya.  Mereka melakukannya karena memiliki kasih sayang yang amat besar pada semua objek dakwahnya.  Mereka begitu mencintai setiap saudaranya sehingga ingin menjauhkan mereka dari segala keburukan.  Inilah motivasi dakwah yang benar.

Seseorang yang membenci objek dakwahnya selamanya tidak akan berhasil menyelesaikan misi dakwah.  Tidak akan ada yang mau mendengarkannya, karena tidak ada orang yang mau dibenci.  Tugas seorang kader dakwah adalah menyadarkan objek-objek dakwahnya bahwa jalan yang ditentukan oleh Allah adalah jalan yang terbaik.  Jika mereka tidak mau mengikutinya, maka mereka akan menganiaya dirinya sendiri.

Selanjutnya, Nabi Ibrahim as. menegaskan bahwa orang-orang yang mengikutinya adalah bagian dari golongannya.  Akan tetapi, beliau tidak mengutuk mereka yang menolak dakwahnya.  Di sisi lain, beliau juga tidak diperbolehkan untuk mendoakan orang-orang kafir.  Oleh karena itu, Nabi Ibrahim as. hanya menegaskan bahwa sesungguhnya Allah memiliki sifat yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun.  Sekali lagi, jelaslah bagi kita bahwa Rasul yang agung ini adalah seseorang yang memiliki hati sangat lembut, bahkan kepada orang-orang yang memusuhinya sekalipun.

Selain itu, beliau tidak mengatakan “barang siapa yang tidak mengikutiku,” namun menggunakan kata-kata : “barang siapa mendurhakaiku”.  Artinya, beliau tidak menuntut orang-orang untuk mengikutinya tanpa sebab.  ‘Durhaka’ adalah istilah yang kita gunakan ketika ada seseorang yang tidak menunaikan hak kita, sementara kita telah menunaikan haknya.  Anak yang melawan orang tua disebut durhaka, demikian juga orang tua yang tidak memberikan hak-hak pada anaknya.  Dengan demikian, Nabi Ibrahim as. hanya ‘mengecam’ orang-orang yang memfitnahnya atau tidak mengindahkan argumen-argumen logis yang telah diajukannya.  Tidak mentang-mentang karena beliau seorang Rasul, lantas semua orang dituntut untuk mengikutinya.  Nabi Ibrahim as. tidak mengelak dari kewajibannya untuk menyampaikan kebenaran tanpa kenal lelah.  Beliau senantiasa siap untuk berdiskusi dengan siapa pun dan menyampaikan argumen-argumen yang baik.  Seorang aktifis dakwah pun hendaknya memposisikan dirinya dengan cara yang sama.

“Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.  Ya Rabb, yang demikian itu agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 37)

Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as. untuk meninggalkan anak istrinya (Nabi Ismail as. dan ibunya) di sebuah daerah tandus yang kini dikenal sebagai kota Mekkah.  Selain karena yakin kepada pertolongan Allah, tentu ada alasan lain mengapa Nabi Ibrahim as. mau meninggalkan kedua orang yang sangat dicintainya itu di tempat tandus tak bertuan.  Nabi Ibrahim as. merasa yakin pada kualitas diri keluarganya.  Tidak mungkin beliau meninggalkan mereka berdua hanya dengan berharap pada pertolongan Allah semata, karena beliau pastilah sangat memahami makna tawakkal.

Bagi seorang kader dakwah, keluarga adalah benteng pertama yang harus dibangun setelah dirinya sendiri.  Tidak ada alasan membenahi orang lain sementara keluarga sendiri dibiarkan terbengkalai.  Ini adalah suatu kekeliruan yang amat fatal.  Seluruh anggota keluarga kita harus dididik dengan baik sehingga memiliki kualitas yang jauh di atas standar, standar apa pun itu.  Dengan demikian, umat Islam akan dipenuhi oleh para pemuda yang dibesarkan di dalam keluarga yang amat tangguh.

Lihatlah kekhawatiran Nabi Ibrahim as. yang terlihat dengan jelas di dalam doanya!  Beliau tidak khawatir ajal menjemput anak istrinya.  Jika mereka benar-benar menemui ajalnya di sana, maka setidaknya mereka wafat dalam keadaan mematuhi perintah Allah SWT.  Yang dikhawatirkan adalah aqidah keduanya.  Nabi Ibrahim as. memohon agar Allah memberikan kecenderungan pada mereka agar terus melaksanakan shalat dengan penuh komitmen.  Beliau pun memohon berbagai kebaikan untuk mereka, bukan untuk memanjakan mereka, namun dengan harapan agar mereka senantiasa bersyukur pada Allah.  Aqidah adalah hal pertama yang harus kita pikirkan demi kebaikan keluarga kita.

“Rabb, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami tampakkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 38)

Apa alasannya Nabi Ibrahim as. mengucapkan doa semacam ini?  Hanya sekedar penegasan bahwa Allah Maha Tahu?  Nampaknya tidak. 

Kalau kita membaca doa di atas dan mencoba memahami betul maknanya, kita akan melihat bahwa bahkan seorang saleh sekaliber Nabi Ibrahim as. sekalipun mengakui kelemahan dirinya.  Kadang-kadang kita membuat kesalahan dan menutup-nutupinya dengan sejuta pembenaran.  Kadang pembenaran itu kita sampaikan pada orang lain, kadang hanya disimpan di dalam hati untuk menekan rasa bersalah.  Nabi Ibrahim as. bersikap sangat ksatria dengan mengakui bahwa dirinya pun memiliki potensi untuk melakukan kesalahan semacam itu.  Karena itu, dengan doa ini, seolah ia menegaskan kepada Allah bahwa ia tidak pernah berusaha menyembunyikan apa pun dari-Nya, dan semoga ia dihindarkan dari keinginan semacam itu.

Seorang kader dakwah tidak terhindar dari kesalahan.  Jika sampai tergelincir pada suatu kesalahan, kita tidak perlu menutup-nutupinya.  ‘Status’ sebagai kader dakwah tidak perlu membuat kita merasa berat untuk mengakui kelemahan diri.  Sebaliknya, dengan mengakui kesalahan secara ksatria, justru kita akan mendapat lebih banyak kehormatan.

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishaq.  Sungguh, Rabb-ku benar-benar Maha Mendengar doa.”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 39)

Dari sekian banyak nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya, Nabi Ibrahim as. menyebutkan salah satu yang dirasakannya sebagai nikmat terbesar, yaitu dua orang anak.  Kehadiran keduanya sulit untuk diterima akal sehat, karena waktu itu Nabi Ibrahim as. telah berusia lanjut.  Akan tetapi, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. 

Kehadiran Ismail as. dan Ishaq as. tentu saja sangat patut untuk disyukuri.  Keduanya adalah orang saleh, bahkan kemudian diangkat menjadi Nabi.  Lagi-lagi Nabi Ibrahim as. menunjukkan pada semua kader dakwah penerusnya bahwa anak yang saleh adalah rizqi yang tidak ternilai harganya.  Oleh karena itu, harus dipahami bahwa salah satu tugas utama dari seseorang yang telah memiliki keturunan (sesibuk apa pun pekerjaannya) adalah membesarkan anaknya dengan baik.

“Rabbi, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat.  Ya Rabb, perkenankanlah doaku,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 40)

Nabi Ibrahim as. tidak khawatir anak cucunya jatuh miskin.  Beliau juga tidak khawatir jika mereka terbunuh atau disiksa di jalan dakwah.  Asalkan mereka tetap memelihara aqidah-nya, maka keadaan tersebut sudah sangat ideal dalam pandangan beliau.  Demikianlah pandangan seorang kader dakwah, tidak kurang dan tidak lebih.

“Ya Rabb, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 41)

Seorang Rasul agung memohon ampun atas dosa-dosanya, sementara Allah sendiri telah menjamin nasibnya di akhirat kelak!  Beginilah seorang manusia pilihan memelihara kerendahhatiannya.  Tidak ada alasan untuk merasa suci di hadapan Allah, karena setiap orang pernah melakukan kesalahan.  Di samping itu, kita hanya bisa masuk surga (atau terhindar dari neraka) jika Allah mengijinkannya.  Bisakah kita menentang Allah, sekiranya Dia berkehendak lain?

Hal lainnya yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa Nabi Ibrahim as. sungguh-sungguh (seorang Nabi tidak akan menggunakan ucapan yang sia-sia, apalagi ketika berhadapan dengan Allah) mendoakan semua orang yang beriman.  Serendah apa pun kadar keimanan seseorang, maka ia termasuk dalam doa Nabi Ibrahim as. tersebut.  Banyak Mukmin yang keblinger, tapi bukan berarti ia sudah 100% tidak beriman.  Selama ia masih beriman, maka ia masih saudara kita, dan sungguh pantas bagi kita untuk mendoakannya.

Berapa banyak di antara kita yang sungguh-sungguh mendoakan seluruh umat Islam – di mana pun, kapan pun, warga negara mana pun, ras apa pun, suku apa pun – secara tulus dan benar-benar memohonkan ampunan bagi mereka?  Inilah salah satu tolak ukur kinerja dakwah.  Jika semua kader dakwah bisa merasakan empati sekuat ini kepada sesama Muslim – apa pun keadaannya – maka insya Allah kejayaan Islam tidak terlalu jauh lagi.

Senin, 18 Februari 2013

Sebuah Dialog Selepas Malam


“AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murabbinya di suatu malam.
 
Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja…” jawab mad’u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
“Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?”, tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?”, sang murabbi mencoba memberi opsi.

“Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.

Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?” Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad’u. Ia hanya mengangguk.

“Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murabbi lagi.
Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…”

“Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.”

“Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”

“Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar.
“Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.”

“Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”
Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
“Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

“Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!”, sahut sang murabbi.

“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.”

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad’unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca…
Wallahu a’lam. 

Cinta Tanpa Definisi

Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.

Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.

Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari kekuatan tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm ~dalam The Art of Loving~ tidak tertarik ~atau juga tidak sanggup~ mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi bagi dirinya.

Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang sejarah masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majenun, Siti Nurbaya atau Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.

Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi, dengan detail-detail nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayap Patah-nya.
Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detail-detail nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.

Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat, Dahsyat, Lembut, Tak terlihat. Penuh haru biru. Padatmakna. Sarat gairah. Dan, anagonis.

Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. 
Cara kerjanya itulah definisi: karena ~kemudian~ semua keajaiban terjawab disini. 
~ Ustad Muhammad Anis Matta ~

Minggu, 17 Februari 2013

Puisi Cinta dari si Pembuat Pesawat

"Habibie dan Ainun"


PUISI BJ HABIBIE UNTUK ISTRINYA AINUN

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu ... Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya ...

Dan kematian adalah sesuatu yang pasti ... Dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu ... Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat ... Adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi ...

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba
hilang berganti kemarau gersang ... Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang ...

Pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan
pahit manis selama kau ada ... Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau di sini..

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu
sayang ... tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan

aku kekasih yang baik ... Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini ...

Selamat jalan ... Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya ... kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada ...

Selamat jalan sayang ... cahaya mataku, penyejuk jiwaku ... selamat jalan ... calon bidadari surgaku ...

Rabu, 13 Februari 2013

Kisah Suram Valentine

Sejarah Valentine Day

Valentine adalah nama seorang pendeta Nasrani yang hidup di abad ke-3 Masehi. Hari Valentine adalah semata-mata perayaan agama Nasrani atau penganut Kristian yang bertujuan untuk mengenang salah seorang tokoh mereka.

Ensiklopedia Katolik menyebut tiga riwayat berkaitan Valentine, tetapi yang paling terkenal adalah apa yang disebutkan sebahagian kitab mereka yang menyatakan bahawa pendeta Valentine hidup pada abad ke-3 Masehi pada masa pemerintahan Maharaja Rom Kalaudis II.

Pada 14 Februari 270 M, maharaja ini menjatuhkan hukuman mati ke atas pendeta tersebut kerana menentang pemerintahannya. Kesalahan pendeta tersebut kerana telah mengajak masyarakat kepada agama Nasrani.

Riwayat lain menyatakan, maharaja memandang bahawa askar bujang lebih sabar dalam peperangan berbanding mereka yang sudah berkeluarga. Para suami selalu berusaha menolak untuk pergi berperang. Oleh kerana itu, maharaja mengeluarkan perintah yang melarang perkawinan, akan tetapi pendeta Valentine menentang perintah itu dan tetap melakukan perkahwinan di gerejanya secara sembunyi, hingga diketahui pemerintah lalu memerintahkan penangkapan terhadap pendeta itu dan memenjarakanya.

Dalam penjara pendeta berkenalan dengan seorang gadis, puteri salah seorang penjaga penjara. Gadis itu mengidap satu penyakit, lalu bapanya meminta kepada pendeta agar menyembuhkanya. Setelah diubati, tak lama kemudian gadis itu sembuh –sebagaimana yang diceritakan dalam riwayat itu- dan pendeta itu jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum, pendeta telah mengirim kepada si gadis itu satu surat yang tertulis: “Dari yang tulus Valentine.“ Sebelum kejadian itu juga gadis tersebut telah masuk agama Nasrani bersama 46 orang kerabatnya.

Riwayat ketiga menyebut bahawa suatu ketika agama Nasrani tersebar di Eropah, terdapat satu bentuk ritual keagamaan di salah satu kampung yang menarik perhatian para pendeta, di mana para pemuda desa berkumpul di pertengahan bulan Februari dalam setiap tahun. Mereka mencatat seluruh nama gadis desa lalu memasukannya ke dalam sebuah kotak. Setiap pemuda diberi kesempatan untuk mencabut satu nama, dan nama gadis yang keluar itulah yang akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun itu. Mereka padaketika itu terus mengirim kepada si gadis sepucuk surat tertulis di atasnya: “Dengan menyebut nama Tuhan Ibu aku kirim kepadamu surat ini“. Hubungan cinta ini berlanjutan sehingga melewati satu tahun.

Para pendeta memandang bahwa ritual tersebut dapat mengukuhkan akidah orang-orang Rom, dan mereka menyedari bahawa ritual ini sukar untuk dihapuskan, oleh itu mereka menetapkan untuk megubah kalimat yang diucapkan para pemuda itu dari “Dengan menyebut nama Tuhan Ibu“ menjadi: “Dengan menyebut pendeta Valentine,“ sebab ia adalah simbol Nasrani, dan dengan cara itu mereka dapat mengaitkan para pemuda ini dengan agama Nasrani.

Ada yang menyebut sejarah sambutan Hari Kekasih, termasuk yang dikaitkan dengan pesta sambutan Rom kuno sebelum kedatangan agama Kristian yang dinamakan Lupercalia, kisah mubaligh Kristian Saint Valentine dan juga sempena musim mengawan burung pada 14 Februari.

Itulah beberapa gambaran kisah disebalik Hari Kekasih @ Valentine Day dan semua berkaitan agama Nasrani @ Kristian.

Hukum Sambutan Valentine Day

Jawatankuasa Majlis Fatwa Kebangsaan bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia pada 2005 telah memutuskan bahawa sambutan Hari Kekasih adalah haram bagi seluruh umat Islam.
Sebagaimana yang telah termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan disepakati oleh generasi awal umat Islam hari kebesaran bagi umat Islam yang mana disyariatkan bagi kita menyambutnya hanyalah Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha. Ini sebagaimana yang firman Allah S.W.T.:
Bagi tiap-tiap umat, Kami adakan satu syariat yang tertentu untuk mereka ikuti dan jalankan, maka janganlah ahli-ahli syariat yang lain membantahmu dalam urusan syariatmu; dan serulah (wahai Muhammad) umat manusia kepada agama Tuhanmu, kerana sesungguhnya engkau adalah berada di atas jalan yang lurus. (Al-Hajj : 67)

Anas bin Malik r.a berkata: Nabi s.a.w pernah datang ke Madinah sedangkan penduduknya memiliki dua hari raya. Pada kedua-duanya mereka bermain-main (bergembira) di masa jahiliah. Lalu baginda bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua-duanya bagi kamu semua dengan dua hari yang lebih baik, iaitu hari raya Aidiladha dan Aidilfitri.” (Hadis riwayat al-Nasaai, no: 959.)

Oleh itu hendaklah umat Islam hanya membataskan diri dengan menyambut hari-hari perayaan yang diiktiraf oleh Allah dan Rasul-Nya khusus untuk umat Islam. Setelah berakhir zaman salafussoleh iaitu 3 kurun terbaik bagi umat Islam, pelbagai hari perayaan telah ditambah ke dalam kalendar umat Islam seperti Mawlid al-Rasul, Israk Mikraj, Maal Hijrah, Nuzul al-Qur’an dan lain-lain lagi.
Terdapat larangan daripada baginda s.a.w. untuk meniru budaya orang bukan Islam dan bagi mereka yang meniru budaya seperti ini ditakuti mereka akan tergolong bersama dalam golongan tersebut. Sabdanya: Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. (Hadis riwayat Imam Abu Dawud, 3512.)

Tambahan pula sambutan Hari Valentine ini turut diikuti dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syarak seperti pergaulan bebas diantara lelaki dan perempuan, membuang masa dengan berpeleseran ke tempat-tempat yang tak tentu hala malah mencurigakan dan membazir wang dengan memberi hadiah yang mahal-mahal.

Tentang hukum menyambut Hari Valentine, Syaikh al-‘Utsaimin berkata: “Maka bila dalam merayakan Hari Valentine tersebut bermaksud untuk mengenangkan kembali St. Valentine, maka tidak diragukan bahawa orang itu telah kafir. Dan jika tidak bermaksud begitu namun sekadar ikut-ikutan kepada orang lain, maka orang itu telah melaksanakan dosa besar.”

Tidak dapat dinafikan pergaulan bebas ketika sambutan Hari Valentine ini membuka pintu perzinaan sedangkan Allah s.w.t. memerintahkan kita untuk menutup segala ruang yang boleh menyebabkan terjadinya perzinaan. Firman-Nya:
 “Dan janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan satu jalan yang jahat (yang membawa kerosakan).” (Al-Israa’ : 32)

Sumber: http://myibrah.com/sejarah-valentine-day-hukum-menyambutnya


 

Senin, 04 Februari 2013

Renungan Suami Istri

"Sebaik-baik perhiasan ialah istri yang soleha"
Seorang pria dan kekasihnya menikah
dan acaranya pernikahannya sungguh megah.
Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan
dan menikmati hari yang berbahagia tersebut.
Suatu acara yang luar biasa mengesankan.

Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya
dan pengantin pria dalam tuxedo hitam yang gagah.
Setiap pasang mata yang memandang setuju mengatakan
bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.

Beberapa bulan kemudian,
sang istri berkata kepada suaminya,
"Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah
tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan,"
katanya sambil menyodorkan majalah tersebut.
"Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita.

Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut
dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia"
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya
yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya
mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama.

Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar
dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya.
"Aku akan mulai duluan ya", kata sang istri.
Ia lalu mengeluarkan daftarnya.
Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman.

Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai dari suaminya,
ia memperhatikan bahwa airmata suaminya mulai mengalir.
"Maaf, apakah aku harus berhenti?" tanyanya.
"Oh tidak, lanjutkan" jawab suaminya.

Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar,
lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja
dan berkata dengan bahagia
"Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu".

Dengan suara perlahan suaminya berkata
"Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku.
Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna,
dan aku tidak ingin merubahmu.
Engkau adalah dirimu sendiri.
Engkau cantik dan baik bagiku.
Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang"

Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya.
Bahwa suaminya menerimanya apa adanya,
Ia menunduk dan menangis.

Minggu, 03 Februari 2013

Kenapa Harus NGAJI????

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang berilmu.” (QS. Fathir: 28)
Bismillahirrohmanirrohiim,

Sahabatku sering kita mendengar perkataan dari berbagai orang ketika ditanya "kenapa kok gak ngaji?" dari mereka banyak yang menjawab "ah malu udah gede, ah gak ah, ah saya kan dah bisa baca qur'an buat apa ngaji lagi atau gak ada waktu untuk ngaji dan seribu alasan lainnya".

 Apa yang menjadi alasan mereka sepenuhnya keluar karena ketidakpahaman mereka dalam hakikat menuntut ilmu agama atau dalam istilah sehari-hari kita disebut NGAJI. Padahal menuntut ilmu khususnya ilmu agama adalah sebuah kewajiban sssuai dengan sabda rasululloh.  
Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan” 
Rasulullah bersabda, "Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim". (HR. Ibnu Majah), 
"Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya dengan hal itu Allah jalankan dia di atas jalan di antara jalan-jalan Syurga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridho kepada pencari ilmu agama. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang.  
 Dalam tulisan ini saya akan coba membagi tentang pentingnya mengaji dalam kehidupan kita. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi.

Sahabatku yang dimuliakan Allah SWT......
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan ngaji itu penting di dalam kehidupan kita.

Pertama, Kebutuhan Kita Selaku Manusia
Allah SWT berfirman:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr 1-3).
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].


Salah satu kriteria manusia yang tidak merugi adalah mereka yang  beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).

Jadi semua jelas bahwa menuntut ilmu agama atau NGAJI adalah sebuah kewajiban dan kebutuhan manusia.

Kedua, Kondisi Zaman 
Sahabatku yang dimuliakan Allah, tidak dapat dipungkiri kondisi zaman yang sudah semakin rusak membuat remaja khusunya dan manusia pada umumnya mesti faham dan mengaplikasikan nilai-nilai agama. tentunya kepemahaman ini dapat terbentuk dengan kita ikut Ngaji.
Firman Allah SWT dalam surah Ar-Ruum ayat 41 :
Artinya :”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).”


Kerusakan yang dimaksud dapat berupa kerusakan secara alam maupun secara moral. dimana praktik korupsi, perzinaan, pencuriaan, khamr dan lainnya sudah menjadi sesuatu hal yang tidak asing terjadi di zaman saat ini. Bekal yang cukup dan pembimbingan dalam kelompok-kelompok pengajian akan menguatkan kita terhadap hal-hal yang dapat merusak. Hal ini pula yang akan menguatkan kondisi ruhiyah kita agar tetap terjaga.
Semoga Allah mengistiqomahkan kita..

Ketiga, Kita Semua Bakal Kembali
Firman Allah SWT:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Q.S Al-'A`raf [7] : 34).

Dalam surat Al-Araf diatas Allah sudah menyatakannya bahwa setiap manusia sudah memiliki ajalnya. Dan sangat jelas NGAJI akan menjadikan kita selalu ingat akan kematian dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian. Ibnu Umar ra. berkata, Aku datang menemui Rasulullah bersama sepuluh orang, lalu salah seorang dari kaum Anshar bertanya, "Siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, 'Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat."  (HR Ibnu Majah).

 Keempat, Allah akan memuliakan kita
Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Mujaadilah: 11).

Ayat di atas menunjukkan betapa tingginya derajat orang-orang yang berilmu, beramal shaleh dan berjihad di jalan Allah. Bukan hanya dihargai dan dihormati oleh sesamanya, akan tetapi Allah pun mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Dengan mengikuti kajian-kajian keislaman (Ngaji) yang rutin kita ikuti keilmuan kita akan bertambah dan itu akan mengangkat derajat keimanan kita dihadapan Allah SWT.

Kelima, Yang Akan Menolong Orang Tua Kita
Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:" Apabila seseorang telah meninggal, maka semua amalnya terputus kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang senantiasa mendoakan kepada kedua orang tuanya." (HR. Muslim).

Hadist dia atas menjelaskan bahwa tatkala seseorang meninggal dunia maka seluruh amalnya akan terputus kecuali 3 perkara. Yang salah satunya adalah doa anak yang soleh. Tentunya, dengan kita mengaji diri kita akan dibina untuk menjadi anak yang soleh secara pribadi dan masyarakat sehingga doa-doa yang kita panjatkan untuk orang tua kita yang meninggal insya Allah akan menjadi pahala untuk kedua orang tua kita. (wah senang sekali pastinya punya akan yang soleh ^_^).

Sahabatku yang dimuliakan Allah SWT,
Setidaknya 5 hal ini lah yang membuat kenapa ngaji atau menuntut ilmu itu begitu pentingnya. Semoga kita mau mengikuti rangkaian aktivitas peruabahan dalam majelis-majelis ilu=mu atau NGAJI..

Wallahu A'lam..

  

 

 
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].