Nabi Ibrahim as. adalah salah seorang manusia terbaik yang pernah hidup di muka bumi ini. Beliau sering disebut-sebut sebagai “bapak ajaran Tauhid”, meskipun sebenarnya sudah banyak Nabi dan Rasul sebelumnya yang sama-sama menyebarkan ajaran Tauhid. Tentu ada alasannya mengapa beliau memiliki nama yang harum, sehingga beliau senantiasa dikenang, ribuan tahun setelah masa hidupnya.
Dalam Al-Qur’an terdapat sebuah
surah khusus yang diberi judul “Ibrahim”. Tentu Allah SWT memiliki alasan
yang sangat bagus mengapa sosok agung ini dijadikan sebuah titik fokus dalam
salah satu surat di dalam Kitab Suci-Nya. Secara spesifik, Allah
memerintahkan kita untuk memperhatikan salah satu episode dalam hidupnya, yaitu
serangkaian doa yang pernah diucapkannya dahulu kala. Setiap Muslim –
khususnya aktifis dakwah – bisa mengambil banyak pelajaran dari episode ini.
Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa,
“Ya Rabbi, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak
cucuku dari menyembah berhala,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 35)
Prasyarat utama dari keberhasilan
dakwah adalah keamanan. Jika tempat kita berdakwah tidak aman, maka
dakwah tentu tidak bisa dilaksanakan secara maksimal dan memerlukan
strategi-strategi khusus, misalnya secara sembunyi-sembunyi. Metode
sembunyi-sembunyi ini pernah digunakan pula oleh Nabi Muhammad saw. pada awal
dakwahnya, karena pada saat itu pengikut beliau masih sangat sedikit, dan
ajaran Islam dianggap sebagai musuh oleh para penyembah berhala, khususnya di
Mekkah.
Prasyarat berikutnya adalah aqidah
dari para aktifis dakwah itu sendiri. Bagaimana mungkin ajaran Tauhid
bisa disebarkan oleh seseorang yang menyembah berhala? Nabi Ibrahim as.
bahkan tidak malu-malu untuk memohon perlindungan Allah SWT agar ia dan
anak-cucunya tidak sampai tergoda untuk menjadi penyembah berhala. Dalam
hal ini, beliau telah berpikir sangat jauh. Nabi Ibrahim as. tahu bahwa
berhala bukan hanya batu atau kayu yang dipahat menjadi suatu bentuk dan
disembah-sembah. Kekuasaan, kehormatan, ego pribadi dan uang pun bisa
menjadi berhala. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim as. benar-benar berdoa
agar Allah tidak memalingkannya dari Tauhidullah kepada berhala-berhala yang
kadang sulit untuk diidentifikasi.
“Ya Rabbi, berhala-berhala itu telah
menyesatkan banyak dari manusia. Barangsiapa mengikutiku, maka orang itu
termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun,
Maha Penyayang,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 36)
Kita dapat melihat sikap yang
menjadi ciri khas Nabi Ibrahim as. di sini, yaitu lembut dan penuh kasih sayang
kepada siapa pun. Mengomentari masalah penyelewengan aqidah, Nabi Ibrahim
as. sama sekali tidak membenci para penyembah berhala. Sebaliknya, beliau
mengadukan keberadaan berhala-berhala tersebut yang dianggapnya sebagai oknum
yang menyebabkan banyak orang tersesat. Beginilah sikap seorang aktifis
dakwah sejati. Jika melihat ada orang yang berbuat menyimpang, ia tidak
membenci orangnya, melainkan perbuatannya. Mereka melakukannya karena
memiliki kasih sayang yang amat besar pada semua objek dakwahnya. Mereka
begitu mencintai setiap saudaranya sehingga ingin menjauhkan mereka dari segala
keburukan. Inilah motivasi dakwah yang benar.
Seseorang yang membenci objek
dakwahnya selamanya tidak akan berhasil menyelesaikan misi dakwah. Tidak
akan ada yang mau mendengarkannya, karena tidak ada orang yang mau
dibenci. Tugas seorang kader dakwah adalah menyadarkan objek-objek
dakwahnya bahwa jalan yang ditentukan oleh Allah adalah jalan yang
terbaik. Jika mereka tidak mau mengikutinya, maka mereka akan menganiaya
dirinya sendiri.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim as.
menegaskan bahwa orang-orang yang mengikutinya adalah bagian dari
golongannya. Akan tetapi, beliau tidak mengutuk mereka yang menolak
dakwahnya. Di sisi lain, beliau juga tidak diperbolehkan untuk mendoakan
orang-orang kafir. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim as. hanya menegaskan
bahwa sesungguhnya Allah memiliki sifat yang Maha Penyayang dan Maha
Pengampun. Sekali lagi, jelaslah bagi kita bahwa Rasul yang agung ini
adalah seseorang yang memiliki hati sangat lembut, bahkan kepada orang-orang
yang memusuhinya sekalipun.
Selain itu, beliau tidak mengatakan
“barang siapa yang tidak mengikutiku,” namun menggunakan kata-kata : “barang
siapa mendurhakaiku”. Artinya, beliau tidak menuntut orang-orang untuk
mengikutinya tanpa sebab. ‘Durhaka’ adalah istilah yang kita gunakan
ketika ada seseorang yang tidak menunaikan hak kita, sementara kita telah
menunaikan haknya. Anak yang melawan orang tua disebut durhaka, demikian
juga orang tua yang tidak memberikan hak-hak pada anaknya. Dengan
demikian, Nabi Ibrahim as. hanya ‘mengecam’ orang-orang yang memfitnahnya atau
tidak mengindahkan argumen-argumen logis yang telah diajukannya. Tidak
mentang-mentang karena beliau seorang Rasul, lantas semua orang dituntut untuk
mengikutinya. Nabi Ibrahim as. tidak mengelak dari kewajibannya untuk
menyampaikan kebenaran tanpa kenal lelah. Beliau senantiasa siap untuk
berdiskusi dengan siapa pun dan menyampaikan argumen-argumen yang baik.
Seorang aktifis dakwah pun hendaknya memposisikan dirinya dengan cara yang
sama.
“Ya Rabb, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb, yang demikian
itu agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 37)
Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim
as. untuk meninggalkan anak istrinya (Nabi Ismail as. dan ibunya) di sebuah
daerah tandus yang kini dikenal sebagai kota Mekkah. Selain karena yakin
kepada pertolongan Allah, tentu ada alasan lain mengapa Nabi Ibrahim as. mau
meninggalkan kedua orang yang sangat dicintainya itu di tempat tandus tak
bertuan. Nabi Ibrahim as. merasa yakin pada kualitas diri
keluarganya. Tidak mungkin beliau meninggalkan mereka berdua hanya dengan
berharap pada pertolongan Allah semata, karena beliau pastilah sangat memahami
makna tawakkal.
Bagi seorang kader dakwah, keluarga
adalah benteng pertama yang harus dibangun setelah dirinya sendiri. Tidak
ada alasan membenahi orang lain sementara keluarga sendiri dibiarkan
terbengkalai. Ini adalah suatu kekeliruan yang amat fatal. Seluruh
anggota keluarga kita harus dididik dengan baik sehingga memiliki kualitas yang
jauh di atas standar, standar apa pun itu. Dengan demikian, umat Islam
akan dipenuhi oleh para pemuda yang dibesarkan di dalam keluarga yang amat
tangguh.
Lihatlah kekhawatiran Nabi Ibrahim
as. yang terlihat dengan jelas di dalam doanya! Beliau tidak khawatir
ajal menjemput anak istrinya. Jika mereka benar-benar menemui ajalnya di
sana, maka setidaknya mereka wafat dalam keadaan mematuhi perintah Allah
SWT. Yang dikhawatirkan adalah aqidah keduanya. Nabi Ibrahim as.
memohon agar Allah memberikan kecenderungan pada mereka agar terus melaksanakan
shalat dengan penuh komitmen. Beliau pun memohon berbagai kebaikan untuk
mereka, bukan untuk memanjakan mereka, namun dengan harapan agar mereka
senantiasa bersyukur pada Allah. Aqidah adalah hal pertama yang harus
kita pikirkan demi kebaikan keluarga kita.
“Rabb, sesungguhnya Engkau
mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami tampakkan; dan tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada
di langit,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 38)
Apa alasannya Nabi Ibrahim as. mengucapkan
doa semacam ini? Hanya sekedar penegasan bahwa Allah Maha Tahu?
Nampaknya tidak.
Kalau kita membaca doa di atas dan
mencoba memahami betul maknanya, kita akan melihat bahwa bahkan seorang saleh
sekaliber Nabi Ibrahim as. sekalipun mengakui kelemahan dirinya.
Kadang-kadang kita membuat kesalahan dan menutup-nutupinya dengan sejuta
pembenaran. Kadang pembenaran itu kita sampaikan pada orang lain, kadang
hanya disimpan di dalam hati untuk menekan rasa bersalah. Nabi Ibrahim as.
bersikap sangat ksatria dengan mengakui bahwa dirinya pun memiliki potensi
untuk melakukan kesalahan semacam itu. Karena itu, dengan doa ini, seolah
ia menegaskan kepada Allah bahwa ia tidak pernah berusaha menyembunyikan apa
pun dari-Nya, dan semoga ia dihindarkan dari keinginan semacam itu.
Seorang kader dakwah tidak terhindar
dari kesalahan. Jika sampai tergelincir pada suatu kesalahan, kita tidak
perlu menutup-nutupinya. ‘Status’ sebagai kader dakwah tidak perlu
membuat kita merasa berat untuk mengakui kelemahan diri. Sebaliknya,
dengan mengakui kesalahan secara ksatria, justru kita akan mendapat lebih
banyak kehormatan.
“Segala puji bagi Allah yang telah
menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishaq. Sungguh, Rabb-ku
benar-benar Maha Mendengar doa.”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 39)
Dari sekian banyak nikmat yang Allah
anugerahkan kepadanya, Nabi Ibrahim as. menyebutkan salah satu yang
dirasakannya sebagai nikmat terbesar, yaitu dua orang anak. Kehadiran
keduanya sulit untuk diterima akal sehat, karena waktu itu Nabi Ibrahim as.
telah berusia lanjut. Akan tetapi, tidak ada yang tidak mungkin jika
Allah berkehendak.
Kehadiran Ismail as. dan Ishaq as.
tentu saja sangat patut untuk disyukuri. Keduanya adalah orang saleh,
bahkan kemudian diangkat menjadi Nabi. Lagi-lagi Nabi Ibrahim as.
menunjukkan pada semua kader dakwah penerusnya bahwa anak yang saleh adalah
rizqi yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa
salah satu tugas utama dari seseorang yang telah memiliki keturunan (sesibuk
apa pun pekerjaannya) adalah membesarkan anaknya dengan baik.
“Rabbi, jadikanlah aku dan anak
cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat. Ya Rabb, perkenankanlah
doaku,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 40)
Nabi Ibrahim as. tidak khawatir anak
cucunya jatuh miskin. Beliau juga tidak khawatir jika mereka terbunuh
atau disiksa di jalan dakwah. Asalkan mereka tetap memelihara aqidah-nya,
maka keadaan tersebut sudah sangat ideal dalam pandangan beliau.
Demikianlah pandangan seorang kader dakwah, tidak kurang dan tidak lebih.
“Ya Rabb, ampunilah aku dan kedua
ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan,”
(Q.S. Ibraahiim [14] : 41)
Seorang Rasul agung memohon ampun
atas dosa-dosanya, sementara Allah sendiri telah menjamin nasibnya di akhirat
kelak! Beginilah seorang manusia pilihan memelihara
kerendahhatiannya. Tidak ada alasan untuk merasa suci di hadapan Allah,
karena setiap orang pernah melakukan kesalahan. Di samping itu, kita
hanya bisa masuk surga (atau terhindar dari neraka) jika Allah
mengijinkannya. Bisakah kita menentang Allah, sekiranya Dia berkehendak
lain?
Hal lainnya yang menarik untuk
diperhatikan adalah bahwa Nabi Ibrahim as. sungguh-sungguh (seorang Nabi tidak
akan menggunakan ucapan yang sia-sia, apalagi ketika berhadapan dengan Allah)
mendoakan semua orang yang beriman. Serendah apa pun kadar keimanan
seseorang, maka ia termasuk dalam doa Nabi Ibrahim as. tersebut. Banyak
Mukmin yang keblinger, tapi bukan berarti ia sudah 100% tidak
beriman. Selama ia masih beriman, maka ia masih saudara kita, dan sungguh
pantas bagi kita untuk mendoakannya.
Berapa banyak di antara kita yang
sungguh-sungguh mendoakan seluruh umat Islam – di mana pun, kapan pun, warga
negara mana pun, ras apa pun, suku apa pun – secara tulus dan benar-benar
memohonkan ampunan bagi mereka? Inilah salah satu tolak ukur kinerja
dakwah. Jika semua kader dakwah bisa merasakan empati sekuat ini kepada
sesama Muslim – apa pun keadaannya – maka insya Allah kejayaan Islam tidak terlalu
jauh lagi.
1 komentar
Subhanalloh,.,.
Posting Komentar